Orangtua selalu menyarankan, jika kita
masuk angin, maka kita harus kerokan agar angin di tubuh kita segera
keluar. Lalu dengan bermodalkan sekeping uang logam plus balsem,
punggung kita dikerok hingga menimbulkan guratan merah. Semakin merah
guratan, artinya banyak angin yang telah masuk dan diusir dengan kerokan
tadi. Benarkah prinsip tersebut?
Kerokan tak hanya populer di Indonesia.
Vietnam menyebut kerokan sebagai cao giodi, Kamboja menjulukinya goh
kyol, sementara di China dikenal dengan sebutan gua sua. Bedanya, orang
China memakai batu giok sebagai alat pengerok, bukan kepingan uang
logam. Faktanya, warna merah yang dihasilkan dari kerokan merupakan
pertanda pembuluh darah halus (kapiler) di bawah permukaan kulit pecah
sehingga terlihat sebagai jejak merah di tempat yang dikerok. Efeknya,
pembuluh darah kulit yang semula menguncup akibat terpapar dingin atau
kurang gerak menjadi melebar sehingga darah kembali mengalir deras.
Penambahan arus darah ke permukaan kulit
ini meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh terhadap serangan virus.
Selain itu, kerokan akan membuat penderita masuk angin merasa nyaman
karena saat kerokan tubuh telah melepas hormon endorfin yang mengurangi
salah satu gejala masuk angin, yaitu nyeri otot.
Asalkan tidak menjadi kebutuhan primer,
kerokan tidak berbahaya. Namun, jika terus-terusan kerokan, itu bisa
mengakibatkan banyak pembuluh darah kecil dan halus pecah. Tak hanya
itu, kerokan juga bisa menimbulkan kecanduan karena efek hormon endorfin
yang dikeluarkan tadi.
Categories:
Kesehatan